
Hidup di dunia berlalu begitu cepat. Waktu terus melaju tanpa menunggu apapun dan siapapun. Rasanya baru kemarin baru menginjak SD, SMP, dan sekarang kita sudah berada di tingkat mahasiswa. Dimana setelah ini, kita akan terjun di kehidupan yang sesungguhnya. Tanpa disadari umur kita terus bertambah dan kita semakin dekat dengan akhir perjalanan. Namun apakah iman kita juga semakin bertambah?
Dunia adalah tempat yang fana, tidak kekal dan hanya sementara. Pada dasarnya dunia adalah tempat panggung ruh untuk bermain. Allah SWT menciptakan manusia bukanlah untuk hal yang sia-sia, melainkan untuk menghamba kepada-Nya. Dimana Ketika kita sudah memberikan penghambaan yang sempurna, Allah akan memberikan keridhoan kepada kita. Perlu kita ketahui, bahwa keridhoan Allah itu lebih baik daripada surga dan keselamatan dari api neraka. Namun banyak orang yang lupa bahwa hidup di dunia layaknya sebuah perjalanan menuju akhir, banyak orang yang terlampau nyaman dengan dunia. Seolah-olah dunia adalah tempat yang kekal. Banyak orang yang berambisi mengumpulkan kekayaan, berlomba-lomba memperebutkan jabatan, bermegah-megahan di dunia, hingga cara licik dikerahkan untuk mendapatkan kekuasaan. Sampai lupa bahwa kita hanyalah sebuah tanah yang diberi nyawa oleh Allah, dan mereka lupa dunia hanyalah tempat singgah.
Islam mengingatkan kita bahwa dunia hanyalah ujian. Bukan tempat tinggal abadi, melainkan tempat persinggahan sementara untuk mengumpulkan bekal menuju kehidupan yang sebenarnya: akhirat. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman :
“Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
(QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini menegaskan bahwa apa yang terlihat menggiurkan di dunia sebenarnya bisa menipu—karena kesenangan itu tidak abadi dan sering kali membuat manusia lupa pada tujuan akhir hidupnya.
Maka penting bagi kita untuk tidak terlalu larut dalam keindahan dunia. Nikmati secukupnya, tapi jangan sampai lupa bahwa kita sedang dalam perjalanan. Karena pada akhirnya, dunia akan kita tinggalkan, dan yang dibawa hanyalah amal.
Kenapa kita sering terlena?
1. Godaan Dunia: Harta, Status, Media Sosial, dan Lainnya
Dunia ini penuh dengan godaan yang memikat hati dan perhatian. Kita sering terlalu sibuk mengejar harta dan kemewahan materi, tanpa sadar menjadikannya ukuran kebahagiaan. Status sosial dan pengakuan dari orang lain juga jadi ambisi yang menguras waktu dan tenaga, kadang hingga mengabaikan nilai-nilai spiritual. Ditambah lagi, media sosial menciptakan ilusi kehidupan sempurna yang membuat kita terjebak dalam pembandingan, haus pujian, dan lupa pada hakikat hidup yang sesungguhnya.
2. Lingkungan dan Gaya Hidup Konsumtif
Kita hidup dalam masyarakat yang menjadikan gaya hidup konsumtif sebagai standar kebahagiaan. Lingkungan yang materialistik cenderung mengukur seseorang dari apa yang dimiliki, bukan dari akhlak atau amalnya. Tanpa sadar, kita ikut arus: membeli demi gengsi, hidup mewah demi pengakuan, dan lupa bahwa semua itu hanya sementara. Terlalu larut dalam gaya hidup seperti ini membuat hati jadi keras dan sulit tersentuh oleh nasihat dan nilai akhirat.
3. Kurangnya Kesadaran Spiritual dan Bekal Akhirat
Kesibukan duniawi sering membuat kita lalai dari tujuan utama hidup. Kurangnya dzikir, tadabbur, majelis ilmu, dan ibadah-ibadah yang menghidupkan hati membuat kita kering secara spiritual. Tanpa bekal akhirat, hidup jadi tanpa arah. Kita tahu dunia ini fana, tapi tetap memperlakukannya seolah-olah akan hidup selamanya. Ketika hati tak dekat dengan Allah, maka dunia akan terasa manis, dan akhirat menjadi hal yang asing.
Lalu, apa yang harus kita lakukan agar kita semakin dekat dengan Allah dan hati tak lalai di dunia yang fana ini?
1. Perbanyak Dzikir dan Mengingat Kematian
Dzikir adalah makanan hati. Ia menjaga jiwa tetap terhubung dengan Allah, meski tubuh sibuk menjalani dunia. Mengingat kematian bukan untuk menakut-nakuti diri, tapi untuk menyadarkan bahwa waktu kita terbatas. Setiap helaan napas bisa jadi napas terakhir — dan kesadaran ini akan mendorong kita untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan memilih prioritas hidup.
2. Bangun Rutinitas Akhirat di Tengah Aktivitas Dunia
Bekerja, belajar, berkeluarga adalah bagian dari hidup dunia yang harus dijalani. Namun, jangan sampai aktivitas duniawi membuat kita melupakan tujuan akhir. Sisipkan amalan akhirat dalam keseharian seperti shalat tepat waktu, sedekah rutin, atau menolong sesama.
Kunci utamanya: niat yang lurus dan konsistensi dalam kebiasaan kecil yang mendekatkan diri kepada Allah.
3. Sedekah, Amal Jariyah, dan Hidup Sederhana
Sedekah bukan hanya tentang harta, tapi juga waktu, tenaga, dan perhatian. Amal jariyah adalah investasi panjang dimana ia terus mengalir walau jasad telah tiada. Sementara kesederhanaan adalah penjaga hati dari kerakusan dunia. Hidup sederhana bukan berarti miskin, tapi sadar batas dan tidak diperbudak keinginan.
4. Ikut Majelis Ilmu atau Komunitas Islami
Lingkungan sangat mempengaruhi keimanan. Majelis ilmu menyirami hati, memperbaiki pemahaman, dan menguatkan ruhiyah. Komunitas Islami menghadirkan dukungan spiritual dan kebersamaan dalam kebaikan. Ketika hati mulai lelah atau futur, merekalah yang mengingatkan dan menguatkan kita kembali.
Dunia memang tempat untuk berusaha, bermimpi, dan menjalani peran dengan sepenuh hati. Tapi jangan sampai semua itu menjauhkan kita dari Allah. Kita perlu bekerja, tapi jangan lupa berdoa. Kita boleh menikmati dunia, tapi jangan sampai terlena. Kita boleh punya impian besar, tapi jangan kehilangan bekal pulang.
Karena pada akhirnya, dunia ini akan ditinggalkan.
Dan saat itu tiba, tak ada yang lebih bernilai selain hati yang terjaga, amal yang ikhlas, dan takwa yang terus tumbuh.
“Bekal terbaik bukan rumah megah atau jabatan tinggi, tapi hati yang dekat dengan Allah dan amal yang terus mengalir walau jasad telah tiada.”
Maka sebelum terlambat, mari kita renungkan:
“Apa yang sebenarnya sedang kita kejar dalam hidup ini? Dan apakah itu akan menemani kita sampai akhirat nanti?”