NALARSI : RUNTUHNYA MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI GUARDIAN OF CONSTITUTION


“Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan sedemikian rupa.” – Franklin D. Roosevelt

Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 mengenai Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang batasan umur 40 tahun untuk syarat pendaftaran sebagai cawapres, dapat dinilai sebagai sebuah bentuk putusan yang bersifat kontroversial. Putusan tersebut dibacakan ketua MK, Anwar Usman pada tanggal 16 Oktober 2023 langsung menuai berbagai protes dan kecaman yang datang dari beberapa lapisan masyarakat. Bagaimana tidak memancing protes dari kalangan masyarakat, hasil dari amar putusan dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 tersebut mengabulkan permohonan dari pemohon untuk sebagian dengan menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah menduduki jabatan yang dipilih melaui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Peristiwa ini akhirnya menjadi sebuah sorotan dan perhatian yang sangat tajam, dikarenakan adanya kesinambungan dengan rentetan momentum pendaftaran cawapres yang tertuju dan mengarah kepada putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Pengujian undang-undang atau biasa juga disebut dengan Judicial Review adalah sebuah hal wajar dan biasa dilakukan jika dirasa ada sebuah pasal atau undang-undang yang bersifat merugikan masyarakat secara konstitusional. Namun karena disini pengujian undang-undang tersebut hanya ditertuju kepada salah satu pihak saja maka disanalah menjadi titik permasalahannya.

Transformasi kewenangan MK menjadi positive legislature dalam pengujian undang-undang

           Mahkamah konstitusi merupakan lembaga yudikatif yang menjalankan fungsinya dalam kekuasaan kehakiman. Mahkamah Konstitusi dibatasi oleh wewenangnya sebagai negative legislature, yakni menghapus atau membatalkan norma dalam undang-Undang apabila bertentangan dengan UUD 1945 yang telah diatur di dalam Pasal 57 (2a) UU MK. Sebenarnya dalam pratiknya pergeseran wewenang mahkamah konstitusi dalam memutus pengujian undang-undang menjadi positive legislature sah-sah saja dan tidak terlalu menjadi sebuah masalah apabila terjadi kekosongan hukum ditengah masyarakat sehingga masyarakat membutuhkan sebuah supremasi hukum serta urgensi yang sangat mendesak untuk diberlakukannya sebuah peraturan. Namun, yang terjadi dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 tersebut dapat dikatakan menjadi sebuah anomali. Anomali tersebut terjadi karena pertimbangan dan pengecualian pergeseran wewenang MK menjadi positive legislature tidak relevan dengan kondisi sosial pada saat ini. Dikabulkannya permohonan dengan ditambahkan frasa “pernah menduduki jabatan yang dipilih melaui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” mengindikasikan bahwasannya posisi Mahkamah Konstitusi disini sebagai pembuat norma baru dan jelas telah menyalahi aturan yang telah diberlakukan. Padahal sebelumnya telah terdapat 3 permohonan serupa dengan isi petitum yang sama namun tanpa frasa tambahan tersebut telah ditolak oleh Mahkamah Konstitsusi, lantas apa yang sedang terjadi?

Terjadi dissenting opnion diantara majelis hakim

           Saat pembacaan putusan sejumlah hakim mengungkapkan dissenting opnion terkait dikabulkannya permohonan untuk sebagian. Setidaknya ada sekitar 4 hakim yang mengungkapkan pendapat berbedanya saat pembacaan putusan tersebut, yakni

1. Wahiduddin Adams

Dalam amar putusan itu Wahiduddin menyampaikan sejumlah pendapat berbeda. Menurut dia, pengaturan batasan usia untuk capres cawapres sangat lazim diakukan oleh pembentuk undang-undang. Penyebabnya, jabatan presiden dan wakil presiden secara esensial sangat berbeda dengan jabatan raja/ratu/sultan/kaisar dan lain sebagainya, yang umumnya diangkat pada berapapun usia mereka.

2. Arief Hidayat 

Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam dissenting opinion menyoroti pada kelima perkara a quo. Menurut Arief, duduk perkara dan inti isu konstitusionalitas yang dibahas berawal dari perkara-perkara a quo, termasuk ketiga perkara a quo, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, telah diperiksa dan diadili dalam sidang pleno secara bersamaan. Sedangkan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, merupakan perkara yang relatif baru, tetapi segera diputus.
“Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara a quo yang perlu saya sampaikan,”

3. Saldi Isra

Dalam dissenting opinion yang dibacakan oleh Saldi Isra adalah tetap kepada kedudukannya pada putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan sejatinya dia menolak dari awal. “Dalam hal ini, secara faktual perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel ‘sebagian’, sehingga menjadi ‘mengabulkan sebagian’,”  tutur Saldi

4. Suhartoyo

“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan legal standing kepada pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo ‘menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima’,” kata Suhartoyo.

Dari pernyataan hakim MK itu saja sebenarnya sudah terlihat ketidak konsistennya putusan para hakim dalam menilai berdasarkan legal standing pada permohonan-permohonan sebelumnya.

Implikasi Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap relasi kuasa politik  

           Setelah pembacaan putusan kontroversial tersebut, dimana menjelang 3 hari sebelum ditutupnya pendaftaran capres dan cawapres menuju KPU akhirnya nama Gibran Rakabuming Raka semakin mencuat ke permukaan publik dan pada akhirnya pada tanggal 25 Oktober 2023, Prabowo dan Gibran resmi mendaftarkan dirinya ke KPU. Berbicara mengenai implikasi Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 kental sekali dengan peran Joko Widodo yang secara “telanjang mata” mempertontonkan perannya terhadap indepensi Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yudikatif di Indonesia. Hal tersebut sebenarnya sudah sangat amat menyalahi mengenai konsep pemisahan kekuasaan di Indonesia sehingga check and balance disini menjadi terhambat. Jika sedikit ditarik ke belakang posisi Jokowi dan Anwar usman mempunyai hubungan kekeluargaan yang seharusnya hal tersebut secara etis tidak boleh terjadi, ditambah saat pembacaan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 Anwar Usman yang langsung memimpin sidang pembacaan putusan. Berbagai rangkaian peristiwa tersebut nampaknya semakin memperlihatkan dinasti politik yang ingin dibangun oleh trah Jokowi. Hal tersebut bisa dinilai sebagai upaya untuk memanipulasi sebuah lembaga yudikatif, di mana hadirnya mahkamah konstitusi disini adalah sebagai simpul dari sebuah legitimasi yudikatif di Indonesia. Ketika simpul tersebut sudah tidak bisa berdiri kokoh lagi hal tersebut dapat berimbas pada kepercayaan publik.

           Munculnya narasi kritik seperti “Mahkamah Keluarga” sebenarnya sudah menjadi sedikit gambaran dari luapan amarah dan ketidakpercayaan masyarakat dengan sistem kenegaraan Indonesia karena terlalu banyak mencampurkan hasrat kekuasaan dengan cara merusak tatanan yang sudah ada. Fenomena ini sebenarnya dapat menciptakan kemunduran dari aspek demokrasi apalagi dalam hal ini legitimasi Mahkamah Konstitusi adalah sebagai lembaga penyelesai sebuah sengketa. Jika legitimasi tersebut saja telah hilang, masyarakat akan kehilangan keadilan konstitusionalnya.                                                                                                                                                                                                  

Sumber :

Jurnal

Sari, Adena Fitri Puspita, Purwono Sungkono Raharjo. “Mahkamah Konstitusi Sebagai Negative Legislator Dan Positive Legislator.” Souvereignty 1, no. 4 (2022): 681-691.

Artikel Berita

https://nasional.kompas.com/read/2023/10/17/09463791/rangkuman-dissenting-opinion-para-hakim-mk-di-putusan-usia-capres-cawapres?page=all


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *