
Aku mengenalnya sebagai Raharja. Sudah Raharja saja jangan tanya nama panjangnya sebab memang tidak ada, hanya Raharja, Raharja saja. Raharja si lelaki dengan lesung di kanan kirinya, kerap berlubang ketika ia bicara dan tertawa. kerap membawaku pada sejuta kupu dan bunga-bunga. kerap membuatku jatuh cinta.
Kali ini hanya akan ada obrolan biasa antara aku dan Raharja dalam cerita ini bukan karena Raharja yang tidak banyak berbicara namun sebab interaksiku dan Raharja yang kelewat biasa, cuma ada obrolan-obrolan sederhana namun cukup membuatku merasa istimewa.
Ada satu tempat pasti di mana kalian bisa menemukan seorang Raharja usai jam perkuliahan; taman belakang fakultas. Sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi Raharja yang lebih akrab disapa Pak Ketua oleh teman-temannya untuk berdiam diri dan menunggu tenggelam matahari, sebelum akhirnya beranjak pergi.
Aku tahu alasan Raharja memilih tempat sunyi seperti taman belakang fakultas, ia bilang kepalanya sudah terlalu berisik untuk berada dalam keramaian. Menurut Raharja banyak hal yang bisa dibenahi lebih baik jika berada dalam keheningan.
Dan aku menemukannya di sini sekarang, di taman belakang fakultas yang sunyi. Ia tidak benar-benar sendiri, sore ini kebetulan ia ditemani Lavender dan Lily dua kucing liar yang seminggu lalu kami namai bersama. Kakiku baru bergerak tiga langkah ke depan, tapi Raharja lebih dulu menolehkan kepala dan memberiku lengkung sabit kepunyaannya—yang aku yakini ada meski tertutup masker yang ia kenakan.
“Halo Al, kok kamu tahu aku di sini?” Ia bertanya sembari melepas masker hitam yang tengah ia kenakan, dan benar saja ada sebuah senyum cerah dibalik masker yang tadi menutupi wajahnya.
Aku dan Raharja berada di fakultas dan jurusan yang sama meski berada di tingkat yang berbeda. Meski ia pernah bilang sering ke taman seusai jam kuliah, aku tidak begitu tahu letaknya di mana sebab aku memang jarang menjelajahi seisi fakultas apalagi sampai ke taman belakang. Berbekal tanya pada beberapa anak yang kebetulan kutemui tadi, sampailah aku di sini, di hadapannya dengan Lavender dan Lily yang berada di pangkuannya.
“Sini, Al duduk.” Masih setia dengan senyumannya Raharja menepuk-nepuk bangku kayu kosong yang ada di sebelahnya, aku ikut tersenyum dan mengangguk, mendudukan diri di sebelahnya dan ikut menatap danau buatan di depan sana.
Ada keheningan yang tercipta di antara kita selama beberapa menit, baik aku maupun Raharja sama-sama terdiam tanpa suara sampai entah pada menit keberapa suara Raharja akhirnya mengudara. Ia menolehkan kepala kembali memberiku senyumannya, senyuman paling menenangkan sejagat raya. “Kenapa, Al?” tanyanya.
“Apanya yang kenapa, Kak?”
“Ya kamu Al, kenapa?”
“Nggak apa-apa.” Aku menggelengkan kepala, mencoba mengelak. Namun, sepertinya aku lupa sedang berbicara dengan siapa.
Raharja tiba-tiba tertawa, tawanya itu menginterupsi perkataan yang kupunya. “Aku tahu kamu, Al.” katanya kembali memberiku bahagia lewat senyum yang ia timbulkan. “Kamu nggak akan memilih sepi kecuali ada hal yang lagi kamu simpan sendiri.”
Aku tidak terlalu terkejut karena ini adalah seorang Raharja. Raharja yang kadang terlalu peka dengan kondisi orang-orang di sekitarnya. Juga sejak awal pertemuanku dengan Raharja, ia bilang kalau aku seperti buku yang terbuka. Ia bisa dengan mudah hapal apa saja termasuk kebiasaan kecilku yang tidak kasat mata.
Seperti bagaimana aku terbiasa menutup mulut atau terkadang menepuk tanganku ketika sedang tertawa, atau mengetuk-ngetukan jemari pada meja ketika gugup sedang melanda, atau menangis ketika banyak hal membuatku tak sanggup.
“Satu…”
“Dua…”
“Tig—eehhh.” Telapak lebar milik Raharja menahan dahiku kemudian ia tertawa kecil.
“Kalau capek itu duduk…”
“Ini kan udah duduk, Kak.” Aku menatapnya dengan raut yang sedikit tak bisa dijelaskan.
“Bukan nunduk, Al.”
Benar. Raharja bahkan sudah hapal dengan kebiasaanku yang satu ini, ia sudah menebak kalau aku akan menangis, dan seperti hari-hari lainnya ia akan menahan dahiku dengan telapak tangannya, membiarkan air mataku jatuh bebas sementara ia akan menepuk bahuku pelan atau mengusap surai hitam sebahuku dengan satu tangannya, atau di hari-hari lainnya ketika isakku terdengar lebih keras dari biasanya ia akan meminjamkan bahunya dan membiarkanku masuk ke dekapnya.
Di satu waktu aku pernah bertanya kepada Raharja kenapa ia melarangku untuk menundukkan kepala, lalu katanya, “Biar dunia tahu, Al. Bahkan dengan semua luka-luka yang kamu punya yang dikasih sama dunia, kamu nggak bisa dikalahkan sama dia.”
Waktu itu aku masih biasa saja, ku kira perkataan yang ia katakan padaku kala itu cuma kalimat keren yang tak ada artinya dan aku cuma membalasnya dengan candaan dan sedikit ledekkan, “oke siap Pak Ketua.”
Dan setelahnya, Raharja lagi-lagi membuatku terkesan dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sebab setelah itu ia bilang, “kamu juga ketua, Al.”
“Kita semua ketua atas diri kita sendiri, Al. Cuma kita yang bisa mengendalikan pasukan-pasukan bernama akal dan hati,” tutur Raharja kala itu sambil mengelus pelan rambutku.
“Makanya jangan nunduk, Al. Kalau kamu lemah gimana sama pasukannya?” kata Raharja lagi-lagi.
“Diri kamu butuh kamu, Al.” Masih dengan senyuman yang ia miliki Raharja melanjutkan lagi sembari mengusak surai kehitamanku yang berkilauan terkana sinar matahari sore yang akan kembali keperaduannya.
Aku kembali tersadar ketika lengan milik Raharja menarikku mendekat, buliran bening masih keluar dari mataku meski napasku sudah sedikit lebih teratur dari sebelumnya.
“Kamu kuat, kamu kuat.” Bisik Raharja tepat pada telinga sebelah kiri. Aku yang berada dalam dekapnya hanya menganggukan kepala.
“Jangan Nunduk, Al,” katanya lagi masih mendekapku erat-erat.
“Iyaaa, Kakkk.”
“Mending—“ Ia hendak melanjutkan.
“Duduk. Sama Kakak, iya kan?” Aku memotongnya cepat sebelum ia berhasil menyelesaikan perkataannya.
Raharja tertawa, kali ini bukan tawa kecil semata, ia tertawa dengan leluasa lagi pula di sini hanya ada kita berdua katanya. Raharja lalu kembali mengusak surai hitamku dengan telapaknya. “Pinternya calon menantu Mama.”
“Hah?”
“Hm?” Raharja memberikan senyum jahilnya, menaikan satu alis matanya lalu kembali membuat tawa.
Kembali pada sore lainnya. Pukul 15.25 tepat, aku menggoyangkan kedua kakiku sambil terduduk di bangku kayu taman belakang fakultas. Dua puluh menit sudah kuhabiskan untuk berdiam diri, menunggu kedatangan lelaki yang sampai sekarang belum juga menampakan batang hidungnya.
Raharja. Kakak tingkat yang kukenal lewat organisasi.
Cerita perkenalanku dengannya dan alasan kenapa bisa aku menyukainya, bisa kalian dengar di lain waktu. Kali ini yang paling penting sekarang adalah seorang Raharja yang membuatku menunggu.
Biasanya Raharja akan datang lebih cepat lima atau sepuluh menit dari waktu perjanjian. Raharja adalah orang yang paling tidak suka menunggu apalagi ditunggu. Ia menyukai ketepatan dan keteraturan dalam hidupnya.
Sedangkan aku di hidup Raharja? Aku adalah satu-satunya ketidakpastian, dan ganjil dalam semua genap tatanan hidupnya yang sudah tersusun rapi.
Kacamataku merosot, aku mengeratkan genggaman pada lembar-lembar buku yang sedari tadi menghuni telapakku. Buku puisi biasa. Bukan buku yang tercatat di urutan satu perpustakaam kota, atau buku puisi yang terjual dimana-mana karya sastrawan terkenal.
Cuma buku puisi sederhana, dengan diksi-diksi indah di dalamnya yang tak kalah sederhananya. Buku itu tidak cukup istimewa, namun kamu akan menemukan definisi sederhana dari kata paling sederhana dari sana.
Aku baru hendak mengirimkan pesan sebelum figur tegapnya muncul dari radius sepeluh menteran di depan sana, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.
Meskipun ketika sampai di depanku yang sedang menduduki bangku kayu dan memegang buku napasnya kian memburu. “Maaf, Al. Maaf buat kamu nunggu.” Dengan napasnya yang masih memburu Raharja kemudian mendudukan dirinya di sampingku.
Aku yang lebih sering datang terlambat dibandingkan Raharja cuma bisa tersenyum pelan. Satu kali waktuku menunggunya tentunya tidak ada apa-apanya dan tidak bisa dibandingkan dengan berkali-kali Raharja memaklumi keterlambatanku.
“Nggak apa-apa, Kak.” Aku berkata sambil menolehkan kepala ke arahnya yang kini sudah duduk pada bangku kayu yang sama denganku.
Pandangan Raharja meneliti pergerakan tanganku, aku mengambil sebuah sapu tangan dan botol minum hijau tosca dari dalam tas lalu menyodorkannya pada Raharja. “Nih. Kakak keringetan gitu habis ngapain?”
Belum sempat Raharja membuka suaranya, aku kembali menyela. “Harusnya nggak usah buru-buru, Kak.”
Ketika napasnya yang memburu berangsur teratur, Raharja kembali tersenyum menolehkan kepala kearahku. “Maaf ya, Al. Aku ngerasa aneh banget bikin kamu nunggu.” kata Raharja pelan sembari meneguk minuman dari botol hijau tosca yang tadi kuberikan padanya.
“Tadi ada masalah terkait persiapan event, harus aku yang turun tangan langsung jadinya sedikit lama.” lanjutnya.
Aku tersenyum mengerjapkan mata beberapa kali, sibuk mendengarkan Raharja dan cerita tentang harinya. Tentang masalah yang tiba-tiba muncul padahal pelaksanaan acara tinggal beberapa hari lagi, tentang ia yang harus menyelesaikan segala masalahnya sendiri, dan tentang Raharja, yang akhirnya untuk pertama kalinya menemukan hari di mana keteraturan dalam hidupnya berubah menjadi kekacauan, di mana hidupnya yang rata, menemukan rintangan di depan mata.
“Aku ngacauin semuanya,” kata Raharja di ujung kata-kata pada ceritanya.
Aku belum mengajak Raharja beranjak pergi dari taman belakang fakultas, sejujurnya aku dan Raharja juga tidak tahu akan pergi kemana setelah ini.
Pertemuan hari ini hanya pertemuan rutin mingguan kita. Tak ada agenda dan rencana hanya pertemuan biasa seperti hari-hari lainnya.
Namun, jika di hari-hari lainnya aku yang akan datang ke sini dengan semua masalah yang kupunya hari ini mungkin sebaliknya. Hari ini giliran Raharja yang datang dengan segenap masalah yang datang pada hidupnya.
“Apanya yang kacau, Kak?” tanyaku pelan.
“Semuanya?” Raharja menjawab tanya yang kuajukan dengan tanya lainnya. Nada bicaranya sedikit terdengar ragu-ragu, sementara aku kini tersenyum lebar tanpa malu-malu.
“Kak.”
“Kenapa, Al?”
“Kok ganteng sih.”
“Jangan Bercanda.”
Tawaku mengudara dan sesaat setelahnya Raharja juga ikut tertawa.
“Kak.” Aku kembali memanggilnya.
“Kenapa lagi, Al?” alisnya kini ia naikan satu senti menatapku sedikit sangsi, khawatir kalau lagi-lagi aku akan menggodanya atau mengatakan hal tidak masuk akal lainnya.
“Nggak apa-apa.”
“Hm?” Raharja kembali menaikan satu alisnya, kali ini bukan karena sangsi lebih karena ia bingung akan maksud dari perkataanku.
“Nggak apa-apa untuk jadi kacau. Nggak apa-apa untuk nggak teratur. Nggak apa-apa untuk nggak baik-baik aja, Kak.” Aku melanjutkan mencoba membuat Raharja paham.
“Aku kira sejak ketemu aku di hidup kamu, kamu juga menerima fakta bahwa ada banyak hal di dunia yang nggak bisa dipaksa jadi beraturan.”
Sesaat setelahnya aku bisa mendengar Raharja berbisik kecil. “Ya ketidakberaturan punya kamu itu seperti magis, aku mana bisa nolak yang manis-manis, Al.”
“Bilang apa tadi, Mister Rasional?” selorohku menggodanya.
“Jangan bercanda, Al.” Sementar aku kembali tertawa, Raharja memutar bola matanya atas leluconku yang tidak cukup lucu menurutnya.
Kedua kakiku kembali kuayunkan lagi, Raharja memperhatikan kakiku yang berayun bebas. Aneh memang, entah kenapa Raharja lebih memilih memperhatikan ayunan kakiku, seperti tidak ada hal lain yang lebih bagus untuk diperhatikan.
“Tadi waktu dateng Kakak bilang apa?”
Raharja menoleh memberiku tatapan bingung. “Apa?”
“Ya Kakak, bilang apa?”
Raharja mengedarkan pandangannya mencari-cari jawaban, menggali-gali ingatannya selama beberapa menit ke belakang.
“Maaf? Maaf buat kamu nunggu?”
Aku mengangguk kemudian menjentikan jari lalu berdiri mengulurkan tanganku pada Raharja yang masih terduduk dengan tenang pada bangku kayu sore itu. Raharja menerima uluran tanganku, ikut berdiri di sebelah kiri.
“Maaf, iya kan, Kak?” kataku.
“Iya.” Ia mengangguk menyetujui.
“Kakak tau kenapa ada kata maaf?”
“Kenapa?” Ia kembali membalas tanyaku dengan tanya juga tak lupa ekspresi bingung yang masih belum pergi dari wajahnya.
Aku mendongakkan kepala, menatap netranya yang lebih tinggi sepuluh senti di atas kepala. “Karena kita nggak bisa selalu benar, Kak.”
Selanjutnya aku memberikan senyumanku, semula tipis, kemudian melebar, mengundang Raharja untuk ikut menampilkan lengkung sabit kepunyaannya.
“Jadi, Kak…” Suaraku kembali mengudara namun kali ini aku memberi sedikit jeda, cukup untuk menghela napas panjang sebelum kembali melanjutkannya.
“Iya, Al?”
“Maaf ya, Kak karena kita nggak bisa selalu benar. Maaf ya, Kak kamu harus merasakan ketidak beraturan. Maaf kamu harus merasakan kekacauan.”
“Kok malah jadi kamu yang minta maaf, Al?”
Aku tertawa menampilkan gigiku yang berjajar dengan rapinya. “Aku nyontohin, Kak!”
“Sekarang ayo coba bilang ke diri Kakak sendiri.”
“Hah?”
“Ayo cepet bilanggg.”
Raharja masih belum memutuskan pandang, netranya masih menatap tepat pada netra gelapku, menatapku ragu-ragu. Aku juga belum melepaskan senyum dari bibirku, menunggu Raharja mengucapkan kalimat yang barusan kuajarkan.
“Raharja,” ucapnya memulai kata. Aku semakin tersenyum lebar.
“Maaf ya, karena hari ini nggak baik-baik aja.”
“Maaf ya, karena hari ini kamu mengacaukan tatanan hidupmu yang tadinya baik-baik aja.”
“Maaf ya, karena hari ini harus ada salah di depan mata.”
“Maaf ya, karena hari ini, keteraturan dalam hidup kamu harus menjumpai kacaunya.”
Raharja menatapku, balas tersenyum. “Karena dalam hidup kita nggak bisa selalu benar, jadi maaf ya.”
Sedetik setelahnya aku menggengam telapak Raharja yang bebas, mengajaknya pergi dari sana, ke mana saja.
“Lega, Kak?”
Raharja menganggukan kepala. “Iya Al, lega.”