Nikel Indonesia dalam Geopolitical Clash

Oleh: Daffa Rahmad Nabil

DNA ekonomi Indonesia masih belum bertumpu pada inovasi dan teknologi, melainkan pada komoditas mentah. Salah satu komoditas unggulan tersebut adalah nikel. Bagaimana tidak? Pada 2024, Indonesia menguasai 60% pasokan bijih nikel global [1]. Dominasi atas lebih dari separuh pasokan dunia ini menjadikan nikel Indonesia sangat kompetitif dan diminati banyak negara. Terlebih, kampanye transisi energi global telah mengategorikan nikel sebagai mineral logam kritis, menjadikannya komoditas strategis. Tren pengembangan electric vehicle (EV) turut mendongkrak permintaan ekspor nikel karena perannya sebagai bahan baku utama baterai. Oleh sebab itu, sejumlah negara khususnya China, melirik potensi besar industri nikel Indonesia dan berinvestasi di dalamnya.

Gambar 1. Indonesia Share of World Refined Nickel Production.
Sumber: Macquarie Group, 2024.

Pendekatan China terhadap industri nikel Indonesia dimulai sejak terbitnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang melarang ekspor bijih nikel mentah. Kebijakan yang berlaku efektif pada 2014 ini, bertujuan mendorong pengolahan mineral dalam negeri [2]. Sebagai konsumen 95,69% nikel Indonesia saat itu, China merespons dengan menyegerakan investasi melalui pembangunan sejumlah smelter. Akibatnya, kapasitas pengolahan nasional melonjak dari hanya 2 smelter pada 2014 menjadi 44 smelter pada 2024 [3].

Kolaborasi ini menjadi win-win solution: bagi Indonesia yang belum mampu mengoptimalkan teknologi dan pembangunan smelter secara mandiri, kerja sama mempercepat pengembangan industri; bagi China, pemrosesan di Indonesia lebih menguntungkan karena biaya penambangan yang lebih murah. Namun, dominasi Indonesia sebagai pemasok global tidak diikuti kendali atas kepemilikan smelter. Faktanya, 75% kapasitas smelter nasional dikuasai China, baik secara langsung maupun melalui kepemilikan saham perusahaan Indonesia [4].

Di balik dominasi perusahaan China pada industri nikel Indonesia, terdapat risiko geopolitik sistematis yang harus diantisipasi. Ketegangan antara negara-negara Barat dan China memicu disinsentif bagi investor Barat, sebagaimana tercermin dari hengkangnya konsorsium Eramet-BASF (perusahaan tambang Prancis dan kimia Jerman) dari proyek baterai nikel di Weda Bay, Halmahera Tengah pada 2024 [5]. Mundurnya kedua raksasa Eropa ini yang secara resmi beralasan perubahan pasar nyatanya dipicu ketidakmampuan bersaing dengan teknologi dan efisiensi biaya perusahaan China dalam proyekย High Pressure Acid Leachingย (HPAL) [6]. Amerika Serikat, pasar potensial ekspor nikel Indonesia justru mengarahkan kebijakan energinya melaluiย Inflation Reduction Act (IRA)ย 2022 yang memberi insentif besar bagi kendaraan listrik berbahan baku mineralย non-China [7]. Kebijakan proteksionis ini, ditambah regulasi AS sepertiย Foreign Entities of Concernย yang memblokir entitas asal China, Rusia, Iran, dan Korea Utara, berpotensi memutus akses nikel Indonesia ke pasar AS jika produknya dianggap “terkontaminasi” dominasi China [8]. Ironisnya, ketergantungan pada investasi China justru mengisolasi Indonesia dari pasar barat di tengah perang dagang AS-China.

Reputasi industri nikel Indonesia terus terancam oleh gencarnya kampanye “dirty and bloody nickel” dari media asing yang menyoroti lemahnya penerapan prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) di sektor pertambangan nikel Indonesia [9]. Kasus kerusakan ekosistem Raja Ampat akibat aktivitas tambang yang baru-baru ini viral menjadi bukti konkret betapa industri ini kerap mengorbankan lingkungan demi keuntungan jangka pendek [10]. Di sisi sosial, laporan Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (2024) yang mencantumkan Indonesia sebagai pelaku forced labor dalam pertambangan nikel memperparah citra negatif ini [11]. Dua isu kritis ini dapat merusak reputasi dan berpotensi memicu pemboikotan pasar global. Jika tidak segera ditangani secara sistematis, stigmatisasi ini bukan hanya akan mengisolasi nikel Indonesia dari rantai pasok berkelanjutan, tetapi juga menggerus keunggulan kompetitif di tengah persaingan geopolitik mineral kritis.

Tren kendaraan listrik (EV) yang selama ini menjadi motor penggerak industri nikel Indonesia, kini menghadapi gejolak ketidakpastian akibat melambatnya pertumbuhan pasar global. Salah satu pemicu utamanya adalah kebijakan energi Amerika Serikat di bawah administrasi Donald Trump melalui paket deregulasi Energy for America Act yang kurang berpihak pada teknologi energi terbarukan [12]. Kebijakan ini, dengan fokus menghidupkan kembali industri otomotif berbasis mesin pembakaran internal (BBM), menciptakan disinsentif bagi produksi massal EV di pasar potensial terbesar dunia. Dampak berantai dari kondisi ini, program hilirisasi nikel Indonesia yang terus dipacu justru terbentur lesunya permintaan global. Akibatnya, produk turunan nikel seperti baterai litium dan bahan katoda mengalami kelebihan pasokan (oversupply) yang tidak terserap pasar, berpotensi memicu penurunan harga dan penumpukan stok [13].

Gambar 2. Global EV Sales Growth.
Sumber: BloombergNEF data, 2024.

Di tengah gejolak geopolitik ini, Indonesia berdiri di persimpangan keputusan, terus bergantung pada China dan terperangkap dalam rantai nilai yang itu-itu aja, atau melakukan strategi untuk memperbaiki rank ESG (Environmental, Social, Governance) tambang nikel Indonesia. Pilihan pertama berisiko menjerumuskan kita ke dalam “kutukan sumber daya” abad ke-21 yang memperpanjang ketergantungan terhadap China. Sementara pilihan kedua menuntut keberanian mereformasi tata kelola pertambangan secara fundamental, memutus mata rantai oligarki investasi, serta membangun aliansi teknologi dan diversifikasi mitra secara strategis, baik dengan negara netral maupun Barat. Pemerintah dapat melalukan negosiasi dengan China, US dan negara lain untuk memperkuat dan mendukung industri green energy global sebagai jalan tengah dan yang terbaik dari kondisi ini. Pasokan 60% komoditas kritis global bukan sekadar keunggulan komparatif, melainkan senjata geopolitik yang harus dimanfaatkan secara bijak untuk membangun kedaulatan ekonomi berkelanjutan dengan memperkuat posisi tawar, mendorong industrialisasi hilir bernilai tambah tinggi, dan mendorong green economy.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Petromindo, “Indonesia targets $50 billion nickel export by 2045 as downstream push accelerates,” Petromindo.com. [Online]. Available: https://www.petromindo.com/news/article/indonesia-targets-50-billion-nickel-export-by-2045-as-downstream-push-accelerates. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  2. Kementerian ESDM, “Mulai 12 Januari 2014, Ekspor Bahan Mentah Mineral Dilarang,” esdm.go.id. [Online]. Available: https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/mulai-12-januari-2014-ekspor-bahan-mentah-mineral-dilarang-. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  3. Nikel.co.id, “Ditjen ILMATE: 44 Smelter Nikel Beroperasi di Indonesia,” Nikel.co.id. [Online]. Available: https://nikel.co.id/2024/03/20/ditjen-ilmate-44-smelter-nikel-beroperasi-di-indonesia/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  4. Mining Technology, “Chinaโ€™s Indonesiaโ€™s nickel capacity,” Mining-Technology.com. [Online]. Available: https://www.mining-technology.com/news/chinas-indonesias-nickel-capacity/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  5. Mining Technology, “Eramet, BASF abandon Indonesia nickel,” Mining-Technology.com. [Online]. Available: https://www.mining-technology.com/news/eramet-basf-abandon-indonesia-nickel/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  6. Wood Mackenzie, “Rise of Indonesian HPAL,” Woodmac.com. [Online]. Available: https://www.woodmac.com/news/opinion/rise-of-indonesian-hpal/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  7. A. Hotter, “FEOC definition leaves Indonesian nickel outside IRA tax credits,” Fastmarkets.com. [Online]. Available: https://www.fastmarkets.com/insights/feoc-definition-leaves-indonesian-nickel-outside-ira-tax-credits-andrea-hotter/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  8. Wood Mackenzie, “Navigating the Inflation Reduction Actโ€™s new Foreign Entity of Concern rules for the US electric vehicle tax credit,” Woodmac.com. [Online]. Available: https://www.woodmac.com/news/opinion/navigating-the-inflation-reduction-acts-new-foreign-entity-of-concern-rules-for-the-us-electric-vehicle-tax-credit/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  9. Journalismfund.eu, “Dirty Nickel,” Journalismfund.eu. [Online]. Available: https://www.journalismfund.eu/dirty-nickel. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  10. EHN, “Nickel mining for EVs scars Indonesiaโ€™s marine biodiversity hotspot,” EHN.org. [Online]. Available: https://www.ehn.org/nickel-mining-for-evs-scars-indonesias-marine-biodiversity-hotspot. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  11. Business & Human Rights Resource Centre, “Indonesia: US Department of Labor adds nickel to forced labour list for 2024,” Business-Humanrights.org. [Online]. Available: https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/indonesia-us-department-of-labor-adds-nickel-to-forced-labour-list-for-2024-includes-responses-from-advocates-and-indonesian-government-officials/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  12. TechHQ, “What Trumpโ€™s EV executive order means for Americaโ€™s electric future,” TechHQ.com. [Online]. Available: https://techhq.com/2025/01/what-trumps-ev-executive-order-means-for-americas-electric-future/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  13. China Global South Project, “Indonesia Nickel Glut: Smelter Moratorium Calls,” ChinaGlobalSouth.com. [Online]. Available: https://chinaglobalsouth.com/analysis/indonesia-nickel-glut-smelter-moratorium-calls/. [Accessed: Jul. 10, 2025].
  14. D. P. K. Mahardika, “Menakar Geopolitik Komoditas Nikel,” Kontan harian, 5 Juli 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *