by Firman Afandi
Beberapa tahun terakhir ini, penggunaan ekonomi digital sedang marak di Indonesia. Salah satu layanan yang sedang digemari kalangan muda saat ini adalah layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau lebih dikenal sebagai paylater. Paylater memberikan kemudahan dalam melakukan aktivitas belanja online, yaitu dengan membeli sebuah produk terlebih dulu kemudian bayar dikemudian atau di lain waktu. Beberapa layanan paylater yang banyak digunakan di Indonesia yaitu Shopee Paylater, GoPayLater, hingga Kredivo. Kemunculan layanan ini sebenarnya menjadi angin segar bagi kemajuan teknologi finansial yang memudahkan dan memperluas akses masyarakat dalam kredit. Namun perkembangan pesat paylater saat ini justru terjadi di saat kondisi ekonomi yang tidak tepat, di mana kondisi ekonomi Indonesia sekarang sedang mengalami perlambatan, perdagangan lesu dan juga Inflasi melaju tidak stabil. Di tengah situasi tersebut, konsumsi tetap bergairah tetapi bukan karena peningkatan pendapatan, melainkan karena kemudahan berutang.
Fenomena ini juga tidak bisa dilepaskan dari pola konsumsi masyarakat masa kini yang semakin lekat dengan gaya hidup digital. Konsumerisme mereka berkembang bukan karena untuk memenuhi kebutuhan dasar, melainkan karena dorongan untuk terus mengikuti tren, FOMO dan pencitraan sosial. Di era sekarang ini, dorongan untuk mengikuti tren gaya hidup modern kerap kali mengalahkan pertimbangan akan kondisi keuangan yang sehat. Layanan paylater pun hadir sebagai jembatan instan untuk memenuhi keinginan mereka, meski tak sejalan dengan kemampuan finansial yang dimiliki (Putu et al., 2023). Kemudahan akses kredit ini seolah menjadi jalan pintas bagi masyarakat untuk tetap bisa mengonsumsi di tengah tekanan ekonomi. Di sinilah peran motivasi hedonis mulai tampak dominan, khususnya dalam mendorong perilaku konsumtif di kalangan generasi muda. Konsumsi mereka kini tidak lagi berakar pada kebutuhan rasional, melainkan lebih pada dorongan emosional pribadi seperti kenyamanan, kesenangan, dan kepuasan pribadi (Agustin, 2022).
Namun, tren ini menjadi lebih kompleks saat melihat kondisi perekonomian saat ini. Pertumbuhan ekonomi melambat, sementara inflasi juga terus membayangi. Berdasarkan data dari BPS pada kuartal I 2025, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tercatat melambat ke 4,89%, lebih rendah dari periode sebelumnya. Disisi lain, inflasi pada April 2025 mencapai 1,95% naik dari periode sebelumnya yang didorong oleh kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi (Antara, 2025a). Di tengah tekanan semacam ini, keinginan untuk tetap memenuhi kebutuhan terutama kebutuhan konsumsi yang dipicu oleh tren, gaya hidup dan ekspetasi sosial mendorong banyak orang mencari solusi cepat dan layanan paylater inilah menjadi pilihan praktis bagi mereka. Namun pada kenyataannya, banyak individu yang justru terjebak dalam siklus konsumsi semu tersebut. Keputusan untuk berutang demi konsumsi sering kali diambil tanpa pertimbangan yang matang terhadap kapasitas membayar dan dampaknya terhadap stabilitas keuangan pribadi (Ahmad Fathoni Ardyansyah & Nur Khusniyah Indrawati, 2024).
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembiayaan paylater pada April 2025 meningkat menjadi Rp8,24 triliun dengan peningkatan tingkat gagal bayar atau Non-Performing Financing (NPF) untuk fintech konsumsi/BNPL yang mencapai 3,78% pada April 2025. Fenomena ini menandakan adanya kecenderungan masyarakat untuk tetap berbelanja di tengah keterbatasan pendapatan mereka, dengan mengandalkan utang jangka pendek. Kondisi ini mencerminkan konsumsi semu yaitu sebuah ilusi daya beli yang tidak ditopang oleh kekuatan ekonomi riil. Tekanan inflasi dan stagnasi pendapatan juga membuat sebagian konsumen kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran, sehingga risiko kredit macet pun semakin meningkat. (Antara, 2025b)
Fenomena ini dapat menimbulkan dampak struktural terhadap ekonomi jika tidak segera diantisipasi. Konsumsi yang tidak ditopang oleh produktivitas dan pendapatan bisa menyebabkan masalah besar dalam jangka panjang. Paylater memang bisa menjadi solusi jangka pendek, namun jika digunakan tanpa kontrol dan kesadaran, maka paylater bisa berubah menjadi jebakan finansial yang dapat berujung pada stres finansial akibat terjebak dalam siklus utang yang memperlemah ketahanan finansial individu (Ahmad Fathoni Ardyansyah & Nur Khusniyah Indrawati, 2024). Oleh karena itu, melihat tren ini diperlukan intervensi dari berbagai pihak. Pemerintah, pelaku fintech, dan masyarakat perlu membangun kesadaran kolektif tentang bahaya konsumsi yang tidak sesuai kebutuhan dan kemampuan, terutama dengan berbasis utang yang tidak proporsional. Di tengah inflasi dan ekonomi yang lesu, bijak dalam berbelanja dan cermat dalam mengambil keputusan finansial adalah bentuk ketahanan ekonomi individu yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka
Agustin, L. (2022). Evaluation of Factors influencing the Shopee PayLater adoption in Indonesia. Management Science and Business Decisions, 2(2), 5–18. https://doi.org/10.52812/msbd.49
Ahmad Fathoni Ardyansyah, & Nur Khusniyah Indrawati. (2024). The influence of financial knowledge on financial management behavior with locus of control and financial attitude as mediation variables. International Journal of Research in Business and Social Science (2147- 4478), 13(4), 265–276. https://doi.org/10.20525/ijrbs.v13i4.3391
Antara, R. (2025a). Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,89 persen yoy triwulan I 2025. https://www.antaranews.com/berita/4815129/konsumsi-rumah-tangga-tumbuh-489-persen-yoy-triwulan-i-2025
Antara, R. (2025b). OJK catat pembiayaan paylater naik jadi Rp8,24 triliun pada April 2025. https://www.antaranews.com/berita/4873733/ojk-catat-pembiayaan-paylater-naik-jadi-rp824-triliun-pada-april-2025
Badan Pusat Statistika (BPS). (2025). Inflasi Tahunan (Y-on-Y). https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjI2MyMy/inflasi-year-on-year–mei-2025.html
Putu, N., Anggraeni, N., & Darma, G. S. (2023). Pengaruh Kemudahan, Risiko, Gaya Hidup, dan Kepercayaan Terhadap Perilaku Konsumtif Pengguna Shopee Paylater di Indonesia. JPEK (Jurnal Pendidikan Ekonomi Dan Kewirausahaan), 7(2), 625–639. https://doi.org/10.29408/jpek.v7i2.21450