Oleh: Artanti Nur Azizah Putri
Kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang berada di antara golongan kaya dan miskin, di mana kebutuhan hidup mereka terpenuhi dengan cukup, mencakup kebutuhan dasar serta kebutuhan tambahan. Menurut Bank Dunia, โkelas menengahโ didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran sekitar 3,5 hingga 17 kali lipat dari batas garis kemiskinan. Indonesia diproyeksikan akan menjadi salah satu dari empat kekuatan ekonomi terbesar dunia pada tahun 2050. Salah satu faktor utama yang dapat mewujudkan hal ini adalah pertumbuhan kelas menengah yang didukung oleh bonus demografi. Kelas menengah tidak hanya berperan dalam perekonomian melalui konsumsi, tetapi juga melalui kontribusi mereka sebagai pengusaha dan kepedulian terhadap investasi sumber daya manusia. Selain itu, mereka juga menjadi pilar penting bagi penerimaan negara, terutama melalui pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi mereka. (Wicaksono et al., 2020)
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kelas menengah Indonesia mengalami tantangan besar, dengan banyak anggotanya yang mengalami penurunan status ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2019 terdapat sekitar 9,48 juta orang yang turun dari kelas menengah. Pada 2024, jumlah kelas menengah turun menjadi 47,85 juta orang, menurun dari 57,33 juta pada 2019.
![](https://sites.unnes.ac.id/kimefe/wp-content/uploads/sites/2/2024/11/459431058_530157146185227_92699473150850298_n-1024x595.jpg)
Penurunan kelas menengah memiliki dampak yang luas bagi perekonomian. Salah satu dampak utamanya adalah menurunnya daya beli masyarakat. Kelas menengah merupakan kelompok dengan daya beli yang signifikan, sehingga ketika mereka mengalami penurunan pendapatan, konsumsi domestik secara keseluruhan akan melemah. Konsumsi domestik yang rendah dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor-sektor yang sangat bergantung pada pengeluaran rumah tangga.
Dampak lainnya adalah peningkatan jumlah kelompok rentan miskin. Data BPS menunjukkan bahwa pada 2024, jumlah penduduk rentan miskin meningkat menjadi 67,69 juta orang dari 54,97 juta pada 2019. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak anggota kelas menengah yang turun kelas dan menjadi rentan terhadap kemiskinan.
Masyarakat kelas menengah terjebak dalam situasi ketidakpastian; mereka tidak tergolong sebagai kelompok miskin, sehingga tidak dapat menerima bantuan penuh dari pemerintah. Di sisi lain, mereka seringkali menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan pendapatan yang terbatas. Kelas menengah seringkali menghadapi ketidakadilan dalam hal akses terhadap fasilitas dan perlindungan sosial, meskipun mereka dibebani dengan pajak, iuran, dan pungutan baru secara bersamaan. Melihat situasi saat ini, tindakan pemerintah dianggap semakin membebani kelas menengah. Hal ini terlihat dari minimnya dukungan berupa bantuan sosial, kenaikan harga pangan, pajak yang semakin tinggi, serta munculnya berbagai kebijakan baru yang menuai protes, salah satunya adalah pemungutan iuran wajib Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).
Kenaikan biaya hidup dan inflasi yang tinggi lebih dirasakan oleh kelompok menengah dan kelompok paling bawah. Di sisi lain, kelompok atas lebih mampu menghadapi fluktuasi ekonomi karena memiliki kekayaan yang lebih besar. Akibat dari kebijakan yang tidak seimbang ini adalah semakin menyusutnya kelas menengah dan meningkatnya jumlah orang miskin. Ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dan pengeluaran menjadi masalah utama yang perlu diatasi agar kesejahteraan dapat lebih merata. Oleh karena itu, penting untuk menyeimbangkan kebijakan ekonomi agar tidak hanya menguntungkan kelompok atas, tetapi juga mendukung kelas menengah dan kelompok bawah, demi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia merupakan fenomena yang harus segera ditangani, mengingat pentingnya kelas ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan hilangnya banyak anggota kelas menengah, daya beli masyarakat menurun, dan jumlah kelompok rentan miskin terus meningkat. Situasi ini tidak hanya berdampak pada perekonomian secara keseluruhan, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial. Berikut adalah beberapa solusi konkret yang dapat diimplementasikan:
- Meningkatkan akses pendidikan berkualitas agar masyarakat dapat bersaing di pasar kerja.
- Akses mudah bagi UMKM ke pembiayaan dan pelatihan untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan.
- Merumuskan kebijakan pajak yang progresif untuk memastikan individu dan perusahaan mampu memberikan kontribusi lebih besar.
- Melakukan investasi dalam transportasi, kesehatan, dan teknologi informasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi.
- Kebijakan perdagangan yang memberikan manfaat bagi produsen lokal dan mendorong ekspor.
Ketika kelas menengah kembali kuat dan stabil, mereka dapat berkontribusi lebih besar terhadap konsumsi domestik dan penerimaan negara melalui pajak, yang akhirnya akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dengan demikian, upaya bersama untuk mengatasi penurunan kelas menengah tidak hanya akan menguntungkan individu, tetapi juga akan memperkuat fondasi ekonomi Indonesia menuju masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
BPS Statistics. (2024, August 1). RILIS BPS 1 Agustus 2024.
Silfia, I. (2024, August 30). BPS sarankan penguatan kelas menengah karena kontribusinya tinggi. Https://Www.Antaranews.Com/Berita/4297739/Bps-Sarankan-Penguatan-Kelas-Menengah-Karena-Kontribusinya-Tinggi.
Wicaksono, E., Nugroho, S. S., & Woroutami, A. D. (2020). Pola Konsumsi dan Beban PPN Kelas Menengah Indonesia. Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 4(1), 1โ16. https://doi.org/10.31685/kek.v4i1.506
Yonatan, A. Z. (2024, September 12). Penduduk Kelas Menengah Indonesia Turun Kelas. Https://Goodstats.Id/Article/Penduduk-Kelas-Menengah-Indonesia-Turun-Kelas-SQjhB.
CNBC Indonesia. (2024, September 2). BPS Beberkan Penyebab Kelas Menengah Susut Signifikan.