GIG Economy: UNTUNG ATAU RUGI?

Oleh: Anisa Zulfani

Kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan telah mendorong penciptaan baru bagi kehidupan manusia, termasuk dalam urusan dunia kerja. Transformasi dalam ketenagakerjaan melahirkan sistem baru yang disebut GIG Economy. Pada dasarnya GIG Economy merujuk pada sistem perekrutan tenaga kerja oleh suatu perusahaan dalam menjalankan proyek jangka pendek. Keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan melalui sistem GIG Economy dapat meliputi penurunan biaya tenaga kerja dimana perusahaan dapat mempekerjakan sumber daya manusia dengan kulitas yang sama dengan karyawan tetap tanpa memberikan tunjangan tambahan seperti asuransi kesehatan, living cost, tunjangan pensiun, dan lainnya. GIG Economy dengan pelakunya disebut sebagai GIG worker dpat disebut sebagai pekerja โ€œon-demandโ€ yakni orang yang akan bekerja hanya saat perusahaan membutuhkan tenaga kerja untuk proyek tertentu. Berdasarkan penelitian oleh Puspitarini dan Basit (2020) menjelaskan bahwa karakteristik GIG Economy meliputi:

  1. Dijalankan melalui suatu platform berbasis digital;
  2. Memungkinkan operasionalnya dilakukan secara lebih fleksibel baik dari sisi waktu, pengaturan, maupun kontrol, maupun pelaksanaan kerja;
  3. Termasuk dalam ekonomi kolaboratif yang idealnya menguntungkan pengguna dan mitra;
  4. Pekerjaan didasrkan pada permintaan perusahaan (work on-demand)
  5. Mengandung makna informalisasi kerja yang membuat pekerjaan formal menjadi lebih informal;
  6. Adanya sharing economy manfaat terhadap asset yang tidak digunakan.

Sektor GIG Economy biasanya dijembatani oleh media digital atau online yang memungkinkan pekerja untuk memiliki kontrak paruh waktu dibandingkan dengan kontrak perjanjian penuh (Abraham et al.dalam Darmawan dan Muttaqin, 2023). Di Indonesia sektor GIG Economy terbagi dalam beberapa rumpun pekerjaan seperti mobility deliveries berupa pengemudi ojek online, kurir paket, kurir makanan dan sektor services yang menyediakan jasa desain hingga jasa pemasaran termasuk sub-pekerjaan yang terkategori pada jenis pekerjaan lepas (freelance).

Tren pasar tenaga kerja dan ancaman terhadap reses ekonomi telah berkontribusi dalam pertumbuhan sistem GIG Economy. Mengacu pada data yang diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik) bahwa jumlah pekerja freelance di Indonesia mencapai 46,47 juta orang atau memiliki proporsi sebesar 32% dari total angkatan kerja yang mencaai 146,62 juta jiwa pada Februari 2023. Angka tersebut mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan data tahun 2022 dimana terdapat 34 juta orang atau 24% dari jumlah angkatan kerja merupakan freelancer.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Burtch, Carnahan, dan Greenwoof (2018); Thompson (2018); Tolba (2021); Kayu dkk. (2019) dalam Prestianawati, dkk (2023) bahwa GIG Economy membantu negara untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi salah satu solusi untuk masalah pengangguran. Selain itu upah yang ditentukan untuk tenaga kerja GIG Economy juga bervariasi. Perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja GIG cenderung dapat menentukan upah dengan lebih fleksibel dan mengurangi risiko fluktuasi ekonomi Friedman dalam Presnawati, 2023). Penelitian tersebut menjadi dorongan tambahan untuk mendalami seberapa untung atau rugi sistem GIG Economy dalam sektor ketenagakerjaan.

Melihat fenomena GIG Economy tersebut sebenarnya memiliki dua sisi baik keuntungan maupun kerugian baik dirasa oleh perusahaan maupun GIG worker. Jika ditinjau dari segi keuntungan pola GIG Economy condong kepada fleksibilitas baik dalam hal pola kerja, fleksibel dalam melakukan kontrol pekerjaan, dan fleksibel terhadap tempat untuk melakukan pekerjaan. Hal tersebut dapat mendorong terciptanya keseimbangan hidup (work-life balance) bagi pekerja. Pada sistem GIG Economy, pencarian tenaga kerja tidak direkrut berdasarkan level pendidikan melainkan didasarkan pada keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja (Karanovic et al dalam Prestianawati, dkk, 2023). Keuntungan lain dari pekerja dalam GIG Economy yaitu dapat menjadikan rumah tangga (household) untuk memiliki penghasilan tambahan, meningkatkan kesejahteraan dan juga mengurangi angka pengangguran. GIG worker juga mampu untuk mengatur waktunya sendiri atau memiliki kontrol terhadap jenis pekerjaan serta beban pekerjaan yang mereka kerjakan akan mampu untuk mengerjakan beberapa jenis pekerjaan sekaligus yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan penghasilan lebih dalam satu kurun waktu tertentu. Fenomena GIG worker bisa lebih berkembang di daerah-daerah urban hingga rural dan bisa menjadi salah satu cara bagi masyarakat dan pemerintah untuk menuntaskan masalah pengangguran (Huang et al., dalam Darmawan dan Muttaqin, 2023).

GIG Economy juga memiliki kerentanan khususnya bagi GIG worker diantarannya dalam hal pengupahan. Pengupahan dalam sitem GIG Economy yang menekankan padaa fleksibilitas membuat perusahaan dapat memberikan upah berdasarkan ketentuan pengupahan tiap perusahaan terhadap GIG worker. Hasilnya tidak sedikit GIG worker yang mendapatkan upah dibawah standar pengupahan yang berlaku (UMP) wilayah sedangkan beban kerja yang dilakukan cukup berat. Kelemahan lain yakni terkait dengan jaminan kesejahtraan pekerja dimana seringkali GIG worker tidak mendapatkan jaminan lain diluar gaji pokok seperti jaminan kesehatan, jaminan uang lembur, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kesejahteraan pekerja lainnya. Kontrak kerja bagi GIG worker juga mengalami situasi yang rentan dikarenakan kebanyakan perusahaan tidak membuat aturan yang jelas dalam kontrak kerja. Akibatnya GIG worker akan rentan mengalami eksploitasi baik dalam hal pengupahan, jam kerja yang overtime, maupun tuntutan untuk melakukan pekerjaan di luar deskripsi kerja. Kendala yang dialami selanjutnya adalah tidak adanya jenjang karir dikarenakan status GIG worker yang didasarkan pada work on-demand mengakibatkan saat pekerja telah menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan oleh perusahaan maka saat itulah hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan berhenti. Kerentanan lain yaitu belum terdapat payung hukum dalam mengatur hubungan kemitraan yang terbentuk di dalamnya dan menjamin nasib GIG worker, serta dapat menjadi ruang bagi praktik eksploitasi, orang-orang yang bekerja di dalamnya ternyata merasa nyaman dan juga memiliki rasa optimis terhadap perkembangan GIG Economy dengan melihat proses digitalisasi yang terjadi. Terlebih lagi pada kondisi di mana lapangan pekerjaan menjadi semakin sedikit dan sulit untuk dicapai, sehingga GIG worker rela untuk bekerja di dalam kondisi yang memunculkan kerentanan pada dirinya daripada tidak bekerja sama sekali.

Dinamika GIG Economy tersebut sudah sepatutnya mendapatkan perhatian dari pemerintah dan stakeholder terkait dengan melakukan beberapa alternatif seperti pengambilan kebijakan yang mampu mendorong penciptaan lapangan kerja, terutama bagi kelompok perempuan dan kelompok kerja muda untuk terlibat aktif dalam kegiatan GIG Economy yang dapat mengoptimalkan jam kerja sehingga potensi untuk bekerja lebih produktif dapat berjalan dengan yang dapat dilakukan bersamaan dengan aktifitas lainnya, seperti mengurus rumah tangga, sekolah, dan lainnya. Selain itu, kebijakan yang dapat dilakukan antara lain melakukan kolaborasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya meningkatkan tingkat pendidikan guna mengembangkan keterampilan dan daya saing GIG worker. Selanjutnya, diperlukan pengembangan sektor pekerja yang dapat dikategorikan high skilled GIG worker untuk menambahkan added value yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat tercipta dengan mengupayakan akselerasi pendidikan TIK, baik dari sisi pendidikan formal maupun non formal, untuk semua kelompok generasi agar makin memperkaya kapasitas GIG worker. Kolaborasi antara pemerinta dengan para pemangku kepentingan juga penting dilkaukan dalam menyelesaikan tantangan terkait dengan kesejahteraan mitra sembari menjawab tantangan strukturan yang muncul dalam sitem GIG Economy.

Daftar Pustaka

Darmawan, R., & Muttaqin, A. (2023). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mayarakat Menjadi GIG Worker. Journal of Development Economic and Social Studies, 774-785.

Firdasanti, A., Khailany, A., Dzulkirom, N., Sitompul, T., & Savirani, A. (2021). Mahasiswa dan Gig Economy: Kerentanan Pekerja Lepas (Freelancer) di Kalangan Tenaga Kerja Terdidik. Journal of Politics and Goverment, 195-230.

Natalia, C., & Putranto, F. (2023). Kerentanan Kesejahteraan Gig Worker di Indonesia Pascapandemi. Jurnal Ekonomi Indonesia, 173-186.

Prestianawati, S. A., Fawwaz, M., & Teguh, A. (2023). Analisis Determinan Tenaga Kerja yang Bekerja pada GIG Economy. International Journal for Multidisciplinary Research, 1-24.

Puspitarini, R., & Basit, A. (2020). Persoalan Struktural Ekonomi GIG: Studi Kasus Stars-Up Bisnis Transportasi Daring di Indonesia. Open Journal Systems, 4327-4337.

Renwarin, R. (2023). Problematika Gig Economy di Indonesia. Sustainable Development Goals Center Universitas Brawijaya (SDGs Center UB). https://sdgs.ub.ac.id/problematika-gig-economy-di-indonesia/ (diakses pada 15 Juni 2024).

Surdiasis, F., & Sahmudi, G. (2023). Naskah Kebijakan Penguatan Kemitraan dalm Hubungan Pelaku Ekonomi Gig di Indonesia. Tenggara Strategics.

Theodora, A. (2024). Menanti Janji Regulasi Perlindungan Pekerja Gig. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/06/12/regulasi-pekerja-gig-digodok-atur-perlindungan-hak-dasar-ketenagakerjaan (diakses pada 25 Juni 2024).

Wibowo, R. (2023). Urgensi Pembaharuan Hukum Ketenagakerjaan Indonesia untuk Mengakomodasi Perlindungan Hubungan Kemitraan. Journal Ketenagakerjaan, 109-121.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *