Penulis : Rahma Puspita Rahayu (Sekretaris Departemen Riset 2023)
Tweet Scientific
Baru-baru ini, Pemerintah telah menerbitkan regulasi terbaru mengenai Pajak Natura melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penghasilan atau Imbalan Sehubung dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam bentuk Natura/Kenikmatan. Pajak Natura adalah pajak yang diberlakukan atas penerimaan dalam bentuk barang maupun jasa yang diberikan para pemberi kerja kepada karyawannya. Lalu urgensi apa saja yang akhirnya mendorong Pemerintah melalui Kementrian Keuangan untuk menetapkan regulasi tersebut dan apa saja tantangan yang dihadapi dalam proses pengimplementasiannya?
Adanya pandemi Covid-19 yang melanda berbagai negara di belahan dunia termasuk Indonesia, nampaknya berhasil menyadarkan negara kita bahwasanya regulasi perpajakan yang ada pada saat ini nyatanya tidak mampu menjadi wadah serta solusi untuk berbagai persoalan modern dan uncertainty di masa yang akan datang. Selain itu, apabila dikaitkan dengan dinamika global pada masa sekarang ini, (Adiyanta, 2020)dalam penelitiannya yang berjudul “Fleksibilitas Pajak sebagai Instrumen Kebijaksanaan Fiskal untuk Mengantisipasi Krisis Ekonomi sebagai Akibat Dampak Pandemi Covid-19” menyatakan bahwa perlu adanya reformasi kebijakan dalam dunia perpajakan secara sustainable agar menciptakan sistem perpajakan yang sederhana serta dapat mewujudkan keseimbangan antara pemerintah, masyarakat, dan entitas bisnis. Hal tersebut akhirnya mendorong pemerintah Indonesia melakukan reformasi kebijakan pajak melalui penetapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Hadirnya aturan ini tentu saja memberikan angin segar bagi dunia perpajakan nasional karena dapat melakukan perbaikan dan pembaharuan terhadap regulasi-regulasi yang telah lampau yang tidak dapat menjadi solusi bagi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Terdapat beberapa perubahan secara fundamental yang terkandung dalam aturan tersebut diantaranya yakni, pelaksanaan tax amnesty, regulasi terkait pajak karbon, kenaikan tarif PPN, perubahan lapisan tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi, dan penggunaan NIK sebagai NPWP (Pemerintah Indonesia, 2021).
Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, ditemukan satu poin yang cukup menarik perhatian yakni diperbolehkannya biaya atas natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan untuk dibebankan secara fiskal. Adanya perubahan yang sangat fundamental ini tentunya akan mempengaruhi paradigma di kalangan fiskus dan wajib pajak, khususnya dalam aspek pajak penghasilan. Sebelumnya, natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh para pemberi kerja kepada karyawannya dianggap sebagai non taxable income, sehingga pengeluaran yang diberikan oleh suatu perusahaan atas natura dan/atau kenikmatan tersebut dapat digolongkan sebagai non deductible expense. Namun, dengan adanya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan membuat natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh para pemberi kerja kepada karyawan yang awalnya dianggap sebagai non taxable income kini harus berubah menjadi taxable income dan pengeluaran yang diberikan oleh suatu perusahaan atas natura dan/atau kenikmatan tersebut penggolongannya ikut berubah menjadi deductible expense. Namun, pada UU HPP Pasal 4 ayat (3) disebutkan ada lima jenis natura dan/kenikmatan yang tidak menjadi objek pajak, yaitu makan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai, natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu, natura dan/atau kenikmatan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, natura dan/atau kenikmatan yang dibebankan pada APBN; APBD; atau APBDES, serta natura dan/atau kenikmatan dengan dengan jenis atau batasan tertentu.
Dalam meluncurkan suatu kebijakan baru, tentu saja ada beberapa hal yang menjadi urgensi sehingga mendorong Pemerintah melalui Kementrian Keuangan untuk melakukan perubahan regulasi yang pada akhirnya menjadikan natura dan atau kenikmatan sebagai objek pajak. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh (Firmansyah & Wijaya, 2022)dengan judul “Natura Dan Kenikmatan Sebelum Dan Sesudah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan” manyatakan bahwa ada beberapa urgensi dalam penetapan regulasi Pajak Natura, yaitu:
- Menutup Celah Tax Avoidance
Sebelum UU HPP dibuat, natura dan/ atau kenikmatan merupakan salah satu alat untuk melakukan praktik tax avoidance bagi Wajib Pajak. Natura dan/ atau kenikmatan yang secara umum diperlakukan sebagai nondeductible-nontaxable ternyata mampu meninbulkan celah. Celah ini kemudian digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan efisiensi pada pajak mereka. Bila diteliti dan dianalisis lebih dalam, sebagian besar penerima natura dan/atau kenikmatan adalah para karyawan top level seperti manajer dan direktur. Memiliki kekuasaan yang lebih membuat karyawan top level dapat memanfaatkan sumberdaya perusahaan untuk mendukung keinginan pribadi mereka, hal ini didukung dengan pengetahuan mereka mengenai regulasi bahwa natura dan/atau kenikmatan merupakan golongan nondeductible-nontaxable sehingga dapat membuat mereka mengurangi nilai gaji dan meningkatkan jumlah natura dan/atau kenikmatan yang diberikan perusahaan untuk mereka. Hal ini menyebabkan pajak yang harus dibayar oleh para karyawan top level menjadi berkurang dan perusahaan harus ikut menanggung beban pajak dikarenakan adanya peralihan tanggungan beban. Maka dari itu, UU HPP hadir untuk memitigasi risiko adanya praktik tax avoidance untuk masa kini maupun masa yang akan datang.
- Optimalisasi Penerimaan dari Pajak Penghasilan
Sebelum adanya UU HPP mengenai aspek perpajakan natura dan/atau kenikmatan, permasalahan yang sering terjadi adalah munculnya ketidakadilan dalam pemberian penghasilan serta pemindahan beban pajak pada badan/perusahaan. Implikasinya adalah fungsi redistribusi pajak yang tidak optimal karena gagal meredistribusi penghasilan kelompok kaya kepada kelompok marjinal. Di sisi lain, pengalihan beban Pajak Penghasilan Orang Pribadi pada suatu badan/perusahaan juga dapat membuat distorsi pada perekonomian. Oleh karena itu, adanya regulasi di dalam UU HPP yang menetapkan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable-deductible menjadi pondasi awal optimalisasi perpajakan khususnya dari segi PPh Orang Pribadi. Ditetapkannya Pajak Natura ini diharapkan dapat menarik penerimaan pajak yang cukup besar dari para karyawan top level sehingga tidak memeberatkan karyawan low level. Selain itu, dengan adanya regulasi ini, harapannya dapat mengurangi distorsi perekonomian karena natura dan/atau kenikmatan lebih difokuskan pada aspek taxable income daripada deductibility.
- Mengurangi Imbalance dan Inequality
Dahulu sebelum di sahkannya UU HPP, para karyawan top level masih bisa memaksimalkan penggunaan natura dan/atau kenikmatan untuk personal interest mereka. Hal ini karena penerapan nontaxable pada penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan dapat mengurangi beban pajak Orang Pribadi mereka. Kondisi tersebut menyebabkan ketidakseimbangan dalam pemberian kompensasi kepada seluruh elemen karyawan perusahaan karena pemberian natura dan/atau kenikmatan dalam jumlah yang besar hanya dapat dinikmati oleh karyawan top level saja. Kemudian pemberian natura dan/atau kenikmatan yang dulunya tidak dikenai pajak juga memunculkan inequality. Pada dasarnya, pemberian natura dan/atau kenikmatan juga ikut menambah economic power meskipun tidak berbentuk uang/gaji. Namun, penggolongannya yang termasuk ke dalam non objek pajak penghasilan menyebabkan tax coverage ratio yang rendah. Situasi seperti ini tentunya menimbulkan ketimpangan antara karyawan top level dan low level yang diakibatkan oleh ketidaksebandingan economic power yang dimiliki dengan jumlah beban pajak yang harus dibayarkan. Selain itu juga, besarnya potensi pemajakan pada natura dan/atau kenikmatan yang tidak dapat terealisasikan dikarenakan adanya pembatasan pada aspek regulasi sehingga hal tersebut menjadi penyebab gagalnya redistribusi kekayaan dan penghasilan dari kelompok kaya ke kelompok marjinal. Oleh karenanya, UU HPP menetapkan natura dan/ atau kenikmatan sebagai taxable income sehingga penggolongannya masuk ke dalam deductible expense.
Kemudian dalam sebuah regulasi pasti ada beberapa tantangan yang muncul dalam proses pengimplementasiannya, tak terkecuali dalam penetapan Natura dan/atau Kenikmatan sebagai obyek pajak. Menurut (Firmansyah & Wijaya, 2022)beberapa tantangan tersebut adalah Munculnya tantangan Valuasi bagi Otoritas Pajak. Penetapan natura dan/atau kenikmatan sebagai taxable income dan deductible expense tentunya menimbulkan permasalahan bagaimana cara menghitung value dari natura dan/atau kenikmatan yang telah diberikan karena pada dasarnya natura dan/atau kenikmatan belum memiliki nilai yang pasti sehingga acuan valuasi yang digunakan cenderung bersifat relative dan memiliki kecenderungan adanya subjektivitas misalnya nilai valuasi di dasarkan pada nilai pasar. Lalu, dalam konteks Pemajakan, permasalahan dalam valuasi bisa berimplikasi pada besaran penerimaan pajak serta munculnya peluang sengketa dalam implementasinya di lapangan.
Bercermin pada keadaan sebelum dibentuknya UU HPP, Para karyawan top level menerima natura dan/atau kenikmatan dari perusahaan dalam jumlah yang cukup besar dimana hal tersebut tentunya menjadi kunci potensi pajak penghasilan. Bila dikaitkan dengan proses valuasi yang kemungkinan besar menyebabkan timbulnya perbedaan nilai, maka ada dua kontigensi negatif yaitu, valuasi yang terlalui tinggi atau terlalu rendah. Valuasi yang terlalu tinggi menimbulkan inequity antara pihak penerima dengan pihak pemberi karena menyebabkan inefesiensi secara ekonomis dan mendisrupsi subtansi natura dan kenikmatan sebagai insentif dalam bekerja. Valuasi yang terlalu rendah juga menyebabkan realisasi pajak lebih rendah daripada potensi aktualnya.
Tantangan selanjutnya adalah timbulnya dispute atau sengketa pajak yang disebabkan oleh adanya perbedaan metode valuasi dan persepsi antara fiskus dan wajib pajak. Terlebih penerapan regulasi taxable dan deductible terhadap natura dan/atau kenikmatan baru pertama kali diberlakukan di Indonesia melaui UU HPP. Sehingga, peluang adanya sengketa cukup besar karena adanya perubahan paradigma serta proses adaptasi dari wajib pajak dan fiskus.
Hal lain yang juga ikut menjadi batu terjal dalam proses implementasi regulasi ini adalah adanya upaya tax planning oleh pihak wajib pajak yaitu dengan mereklasifikasikan natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk uang atau tunjangan sehingga yang seharusnya masuk dalam kategori nondeductible expense diubah menjadi jenis deductible expense. Praktik ini didukung pula dengan masih sulitnya melakukan tracing sehingga sangat sulit untuk melakukan pembuktian apakah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan termasuk ke dalam natura dan/atau kenikmatan atau tidak.
Terlepas dari adanya urgensi yang pada akhirnya memunculkan UU HPP yang di dalamnya terkandung kebijakan bahwasanya natura dan/atau kenikmatan di sahkan menjadi objek pajak serta terdapat berbagai macam tantangan dalam pengimplementasiannya akan tetapi, dengan adanya regulasi ini diprediksi penerimaan pajak akan mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan pengenaan pajak terhadap penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan akan meningkatkan penerimaan dari PPh OP dimana jika dianalisis dari segi optimalisasi penerimaan, pengenaan pajak pada natura dan/atau kenikmatan memiliki nilai yang lebih besar daripada meletakkan beban pajak pada badan/perusahaan. Pembebanan pajak pada orang pribadi ini juga lebih baik dari segi tax coverage karena mekanisme regulasi yang pada akhirnya membuka ruang pemajakan terhadap jenis penghasilan non kas yang pada dasarnya sama-sama merefleksikan adanya tambahan economic power.
REFERENSI
Adiyanta, FC. S. (2020). Fleksibilitas Pajak sebagai Instrumen Kebijaksanaan Fiskal untuk Mengantisipasi Krisis Ekonomi sebagai Akibat Dampak Pandemi Covid-19. Administrative Law and Governance Journal, 3(1), 162–181. https://doi.org/10.14710/alj.v3i1.162-181
Firmansyah, R. A., & Wijaya, S. (2022). Natura Dan Kenikmatan Sebelum Dan Sesudah Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara (PKN), 3(2), 343–359. https://doi.org/10.31092/jpkn.v3i2.1645
Pemerintah Indonesia. (2021). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021. JDIH Sekretariat Negara, 1–224.