Tweet Scientific
Penulis : Fawwaz Jaerawibawa (Kepala Departemen Riset 2023)
Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Caroline V. Fry (2023) dengan judul โranking researchers: evidence from Indonesiaโ menyatakan bahwa sistem perankingan peneliti di Indonesia terbukti ampuh meningkatkaan produktivitas riset. Hal ini dibuktikan dengan peringkat Indonesia yang ada pada peringkat pertama di kawasan ASEAN berdasarkan indeks global (Scopus) publikasi ilmiah selama rentang waktu 2016-2021. Di Indonesia, perankingan peneliti didasarkan pada skor SINTA (Science and Technology Index) yang dikelola oleh Kemendikbud Ristek. Namun, menurut para akademisi di Indonesia sendiri, sistem perankingan ini hanya mampu mendorong produktivitas lewat kuantitas riset saja dan seringkali mengabaikan kualitas dari riset yang dihasilkan. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi?
Dalam dunia keilmiahan, artikel ilmiah dapat dipublikasikan lewat dua jalur opsi, yaitu opsi jalur jurnal atau opsi jalur prosiding. Jika peneliti memilih menerbitkan artikel ilmiahnya lewat jalur jurnal maka bisa dikatakan peneliti tersebut akan menerbitkan artikelnya pada suatu majalah ilmiah. Tentu, dalam mengirimkan sebuah tulisan untuk dimuat dalam majalah, harus melalui proses penyaringan yang dilakukan oleh pihak yang bernama editorial. Jika dalam majalah konvensional pihak editorialnya adalah editor yang bekerja di majalah tersebut, maka di jurnal ilmiah, yang bisa dikatakan sebagai majalah pemuat tulisan-tulisan ilmiah, pihak editorialnya adalah sesama akademisi/peneliti. Proses penyaringan oleh pihak editorial ilmiah ini dilakukan sebagai aksi kolektif para akademisi di seluruh dunia demi mempertahankan eksistensi ekosistem keilmiahan yang ada. Jadi, apabila kita sebagai peneliti akan menerbitkan artikel ilmiah pada suatu jurnal ilmiah, maka artikel kita akan direview terlebih dahulu oleh akademisi/peneliti lain yang kita sendiri tidak saling mengenal. Proses review ini biasa disebut dengan peer review yang seringkali membuat kita harus menunggu cukup lama untuk mendapatkan kabar nasib publikasi artikel ilmiah kita. Kemudian, jurnal ilmiah itu sendiri juga memiliki level yang menunjukkan seberapa ketat proses peer review tersebut. Level itu dapat dibagi menjadi Q1, Q2, Q3, Q4 pada jurnal yang terindeks Scopus (di Indonesia levelnya menjadi SINTA 1, SINTA 2, dst apabila kita menggunakan jurnal terindeks SINTA). Semakin kecil angka di levelnya, semakin ketat porses peer review-nya sehingga menandakan bahwa jurnal ilmiah tersebut memiliki kualitas yang semakin tinggi. Dalam penilaian skor SINTA, jurnal level Q1 dan Q2 diberi skor 40, sedangkan level Q3 diberi skor 35, dan level Q4 diberi skor 30. Hal ini dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan kualitas suatu penelitian yang baik dalam suatu negera maka jumlah penelitian yang dipublikasikan pada jurnal Q1 harus lebih banyak dibandingkan dengan publikasi penelitian di jurnal level lain.
Selain lewat publikasi di jurnal ilmiah, kita juga bisa mempublikasi artikel ilmiah kita lewat cara yang lebih mudah, yaitu prosiding. Prosiding adalah adalah suatu konferensi ilmiah untuk menyosialisasikan hasil penelitian kita. Jadi, apabila kita sebagai peneliti ingin melakukan publikasi artikel ilmiah lewat prosiding maka kita harus mencari pihak penyelenggara seminar ilmiah yang mengusung tema sesuai artikel ilmiah kita. Pihak penyelnggara dari seminar ini adalah lembaga-lembaga akademik, seperti universitas, dsb. Peneliti akan memaparkan hasil penelitianya pada seminar tersebut yang dilihat oleh peneliti lain. Tentu, cara publikasi ini menghilangkan proses peer review sehingga barrier to entry untuk publikasi dengan cara ini lebih longgar daripada publikasi di jurnal ilmiah. Dalam skor SINTA, publikasi jalur prosiding diberi skor 15. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kualitas penelitian yang dipublikasikan lewat prosiding lebih rendah daripada yang dipublikasikan lewat jurnal.
Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana sistem perankingan peneliti di Indonesia (lewat SINTA) hanya mendorong produktivitas secara kuantitas saja? Hal ini bisa dijawab lewat skema penilaian dari skor SINTA itu sendiri. Skor untuk publikasi jurnal Q1 dan Q2 adalah 40, sedangkan skor untuk publikasi prosiding adalah 15. Para peneliti dapat dengan mudah memperoleh skor SINTA melebihi publikasi jurnal Q1 dengan hanya mempublikasikan hasil risetnya lewat prosiding sebanyak tiga kali (total skornya 45). Seperti yang kita ketahui, penelitian yang dipublikasikan lewat jalur prosiding memiliki tingkat keketatan penyaringan yang rendah karena menghilangkan proses peer review sehingga kualitas penelitiannya lebih rendah dari penelitian yang dipublikasikan di jurnal Q1. Peneliti di Indonesia hanya perlu membuat tiga penelitian yang tidak begitu baik secara kualitas dan publikasikan penelitian tersebut lewat jalur prosiding untuk memperoleh skor tinggi. Tentu ini dianggap sebagai cara yang sangat mudah dan murah untuk mendongkrak ranking kita sebagai peneliti dibandingkan jika kita harus susah payah membuat satu penelitian dengan kualitas bagus yang juga tidak menjamin akan lolos proses peer review pada seleksi publikasi jurnal Q1 yang sangat ketat. Dalam penelitian yang dilakukan Fry (2023), komposisi publikasi penelitian di Indonesia terbukti didominasi oleh jalur prosiding sebesar 62%. Bahkan di antara jurnal-jurnal paling bereputasi (Q1-Q2), Fry menemukan bahwa peneliti di Indonesia mencatat kenaikan lebih tinggi pada publikasi jurnal Q2 daripada Q1. Ini kemungkinan karena dalam rumus skor SINTA, baik jurnal Q1 dan Q2 diberikan skor yang sama, yaitu 40, walaupun kualitas jurnal Q1 lebih tinggi daripada jurnal Q2. Dengan sistem ini, peneliti kemudian cenderung memilih untuk terbit pada jurnal Q2 saja karena proses penerbitannya relatif tidak seketat jurnal Q1. Tentu, hal ini memengaruhi tingkat kualitas dari hasil penelitian yang dipublikasikan.
Selain melalui jenis jalur publikasi ilmiah, skor SINTA juga diukur lewat jumlah sitasi (seberapa banyak artikel ilmiah dikutip peneliti/akademisi lain). Jumlah sitasi diberi skor 4 dalam perhitungan skor SINTA. Namun, lagi-lagi indikator ini masih didasarkan pada kuantitas. Kita bisa mengakali demi mendongkrak skor SINTA kita dengan cara self-citation, yaitu mengutip hasil penelitian kita sendiri sebanyak-banyaknya pada penelitian kita yang lain. Ironisnya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurmaini (2021) dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) menunjukkan perilaku curang mengakali skor SINTA ini pelakunya didominasi oleh para dosen (baik PTN maupun PTS). Hal ini dikarenakan beban dosen yang sangat berat lewat tanggungan Tri Dharmanya. Dosen memiliki tanggungan untuk mengajar, meneliti, sekaligus mengabdi dalam waktu yang bersamaan. Capaian skor di SINTA ini berkaitan dengan sejumlah peraturan dan sistem termasuk Penilaian Angka Kredit (PAK) yang berdampak pada kenaikan jabatan dosen, penghitungan Beban Kerja Dosen yang mencerminkan kinerja dosen per semester hingga nantinya tunjangan profesi mereka, hingga Klasterisasi Perguruan Tinggi yang mempengaruhi otonomi institusi untuk melakukan riset. Akibatnya, banyak dosen berujung melakukan praktik yang mengorbankan kualitas riset dan mencari jalan pintas mengejar skor SINTA agar dapat survive di pekerjaanya.
Sistem perangkingan SINTA membuat capaian produktivitas semu dalam iklim riset di Indonesia. Kita bisa merasakanya bahwa dengan banyaknya jumlah penelitian di Indonesia ternyata tetap tidak memberikan manfaat yang mendalam bagi kemajuan bangsa. Hal ini tentu dikarenakan dari sekian banyak penelitian yang ada, hanya ada beberapa yang memiliki kualitas bagus akibat struktur sistem penilaian kinerja peneliti kita yang bias pada kuantitas.
Referensi
Fry, C., Lynham, J., & Tran, S. (2023). Ranking Researchers: Evidence from Indonesia. Research Policy, 1-35.
Nurmaini, S. (2021). Meningkatkan Kualitas Publikasi Ilmiah yang Beretika untuk Indonesia Berdaya Saing. Jakarta: BRIN.